Minggu, 08 Februari 2009

Cerpen

Orang dari Masa Lalu


Ingat dan ingatlah, jikalau badan belum bisa kembali ke kampung halaman dan mengabdi di sana, berikan semampu yang kau bisa, baik itu sumbangan tenaga, ide, maupun material. Berikan dengan senang hati. Kau akan ditambah limpahan rahmat. Itulah yang diyakini Nini, gadis yang berusia dua puluh enam tahun. Seorang guru dan penulis freelance di Jogja.
Satu tahun terakhir dia asyik keluar masuk desa di saat libur sekolah. Ia bermaksud memperoleh ketrampilan mengembangkan usaha. Ia sadar kalau ia belum bisa pulang ke desanya di Jawa Tengah. Padahal hampir semua guru SD-nya berharap ia bisa kembali ke desa dan mengajar di sana. Sayang, pesona Jogja masih menghipnotisnya. Selepas kuliah ia berencana pulang ke desa, eh belum lulus ia mendapatkan tawaran mengajar. Karenanya ia bertekad mengajar di kota, membekali diri sebanyak-banyak dengan pengalaman, sebelum ia kembali ke desa. Terlebih tawaran media online sebagai freelance menambah kuat alasannya menunda kepulangannya ke desa. Ia suka mengajar dan menulis dan Jogja menjamin hal itu dilakukan bersamaan.
Atas tugas freelance, ia ke Bantul untuk meliput produksi gujahe. Gula Jawa Jahe. Sudah lama ia ingin meliput gujahe, ia sangat berharap liputannya bukan hanya untuk media online saja, tetapi bisa menjadi paket sumbangsih untuk desanya. Seperempat penduduk di desanya pembuat gula merah. Selama ini, gula dijual ke pedagang. Hanya itu saja. Barangkali dengan pengetahuan pembuatan gujahe, ibu-ibu bisa diberdayakan. Di desanya tanama jahe tak harus beli karena pekarangan yang kosong bisa dimanfaatkan sebagai lahan tanaman jahe.
Jika tak lagi musim ke sawah, ibu-ibu di desa masih ada saja yang petanan (mengambil kutu) sambil nggosip. Jika mereka memiliki kegiatan, pasti akan lebih bermanfaat. Karenanya sore ini Nini begitu sumringah ketika mengepak buku, lembar-lembar makalah, peralatan tulis, dan oleh-oleh tentu saja. Esok pagi Ia akan pulang untuk mengajarkan pembuatan gujahe. Jika ingin membuat wedang jahe tak lagi susah-susah mencari gula dan jahe. Dengan gujahe, semuanya menjadi lebih praktis. “Ini peluang untuk desaku,” ujarnya.
***

Gujahe memberikan aku semangat berlipat ganda untuk segera pulang ke kampung halaman pada liburan semester dua ini. Pertama, aku ingin merasakan liburan panjang. Nini pulang, Ma! Kedua, aku punya ilmu pembuatan gujahe dan akan kutularkan kepada ibu-ibu yang suaminya penderes (pembuat gula merah). Ketiga, aku punya berita bagus. Aku mendapatkan beasiswa S2. Untuk yang ketiga, barangkali aku bisa sedikit menebak apa reaksi ibu, beliau sangat senang sekaligus khawatir kalau-kalau kuliahku hanya alasanku untuk menunda berkeluarga dan untuk kekhawatiran tersebut aku akan mengatakan bahwa dengan kuliah lagi berarti akan bertemu dengan berbagai kesempatan baru dan barangkali salah satunya adalah bertemu dengan jodoh.
Bicara jodoh, kayaknya jauh. Aku pernah mengagumi seseorang, sayangnya selang beberapa bulan kemudian ada kabar dia telah menikah. Belum juga mencintai, eh dia telah menjadi milik orang. Tak apalah namanya juga belum jodoh mau dipaksa-paksa juga enggak mungkin.
Bicara jodoh selanjutnya adalah kekonyolan yang berlanjut. Karena provokasi tentang ketampanan seseorang, eh, aku berani jatuh cinta. Aku sering meneleponnya memberi semangat. Kebetulan kita punya satu nama penulis yang sama. Ngalor ngidul, kami chatting atau berbalas sms. Teman-teman di kantor mulai menggodai aku. Yah kayak Agnes Monica saja ya, “Godai Aku”, hehe. Bagaimana tidak, jika ke kantor ia pasti mencariku. Eh, usut punya usut, dia sudah memiliki tambatan hati, dua sekaligus. Nah lho! Untung, untung, aku hanya jatuh cinta saja, belum berharap banyak kepadanya. Setelah ia menikah dan mengambil jarak denganku, aku bisa berpikir jernih kalau selama ini ia mendekatiku karena proyek pembuatan buku. Yah, lagi-lagi enggak apa-apa. Namanya juga belum jodoh.
Karena prinsip belum jodoh inilah aku santai perihal jodoh. Orang di sekelilingkulah yang kalang kabut bersimpatik ingin mencarikan jodoh. Terima kasih, itu yang kukatakan setiap kali menerima tawaran. Insya Allah masih menunggu dan setia hingga dua puluh enam tahun.
Angka ini angka yang kutetapkan sebagai usia menikah. Dan kini aku sudah dua puluh enam tahun, aku belum juga punya calon yang bisa kuajak menikah. Nah lho! Lho kenapa bingung? Semua pasti bisa terjadi atas kehendak Tuhan. Seperti yang kualami sewaktu awal kuliah. Aku bertemu dengan Shofa, pria hitam manis yang memikat hati.
Coba bayangkan ketika saya mencari rumah Pak Shofa, aku kesasar. Tanya sana-sini, eh ketemunya dengan rumah Pak Shofa yang sudah sangat tua dan beliaunya tak ada di rumah. Aku menyusul beliau, eh, ketemunya masjid. Tak lama ada keajaiban, sinyal telepon penuh dan aku bisa menghubungi temanku yang tahu rumah Pak Shofa yang benar. Aku sampai ke rumah Pak Shofa, dapat teh manis anget, dan dikenalkan dengan Pak Shofa yang masih sangat muda. Belum menikah dan kata saudaranya belum memiliki kekasih. Kesempatan kan?
Shofa, itulah orang pertama yang kukagumi sekaligus melukai. Sebagai pengagum jarak jauh, sms-lah taktiknya. Sekarang setelah sekian tahun berlalu, baru kusadari bahasa smsku dulu formal paten. “Halo, pa kabar aktivis?” Duh, jadul banget kan taktikku? Eh, tahu-tahu adik perempuannya berkabar kalau kakaknya yang hitam manis itu, si Shofa, akan menikah. “Akankah Mbak hadir di pernikahannya?”
Tidak. Sungguh lucu ketika aku datang ke pesta pernikahannya. Aku bukan siapa-siapa. Maka, aku putuskan saja untuk melupakannya pelan-pelan. Menjadinya bagian dari masa lalu.
Masa lalu yang selalu menyesakkan setiap menatap gula merah. Dan, aku sungguh gila, saat belajar membuat gujahe, bayang Shofa pun berkelebat. Memang aku sudah tidak waras barangkali, dia telah menjadi milik perempuan lain. Camkan!
Iya. Iya, sore ini aku telah sampai di rumah, di desa kelahiran, ketemu dengan keluarga dan juga guru-guru SD. Satu tak bisa kugarisbawahi, semua mengatakan aku lebih kurus dan bertambah cantik. Hahaha. Aku senang luar biasa. Hingga kutetapkan selepas mengajarkan gujahe, aku akan ke pantai.
“Nini,“ seseorang memanggilku di lampu merah perempatan menuju pantai tujuh hari setelah kepulanganku ke rumah.
Aku menoleh. “Siapa dia? Cakep. Ada ya pria cakep yang mengenaliku?” batinku bertanya. Suara debur pantai mulai terdengar.
“Aku membawa pesen dari ibumu,” ujarnya.
“Ibu?”
Dia mengajakku berhenti di rumah makan.
“Pesen ibumu, ngobrollah sebentar dengan pria tampan ini?” ia senyam-senyum.
“Sok cakep, walau memang cakep, tapi ganjil, jangan-jangan...,” aku berdiri.
“Jangan berpikiran negatif. Aku kakak kelasmu SMP. Aku Asep, teman sekelas Mas Agung, kakakmu” ujarnya.
“Lah urusannya denganku apa Mas Asep,” aku bertanya kepadanya.
“Dari dulu kamu memang tak berubah. Cuek saja. Aku mau lanjut S2, denger-denger kamu barusan dapat beasiswa S2, aku mau tanya-tanya,” jawabnya.
Aku tersenyum.
“Aku planning kuliah baru tahun depan, sekarang masih mengumpulkan uang, eh, tapi omong-omong kamu dah ingat siapa aku kan?” lanjutnya.
“Mas Asep, playboy cap cecek, eh, tapi aneh lho Mas, kok bisa ya Mas Asep enggak cakep-cakep amat, tapi digandrungi cewek-cewek,” aku mendeskripsikan dia sekaligus mengejeknya.
“Siapa bilang dulu enggak cekep, dari dulu Mas Asep memang cakep, cuman sekarang lebih cakep, eh, sebenarnya dari dulu aku berdoa dapat cewek yang otaknya encer, sayang cewek-cewek cakep di sekolah kerjaannya belajar melulu, termasuk kamu, Ni!” ungkapnya.
“Sorry ya, playboy memang enggak disukai cewek berotak encer kayak aku, hehe,” balasku.
Hihihi. Kami tertawa renyah.
***

Namaku Shofa. Aku duda. Duren. Duda keren. Hehehe. Hari ini aku ke pantai. Di pantai, Hani adikku bercerita tentang seorang wanita. “Aa’ aku cerita tentangnya karena Aa’ tak lagi dengan Teh Susi. Sumpah, jika Aa’ masih dengan Teh Susi aku tak mungkin cerita soal ini,” ujar Hani.
“Aa’ lihat foto Mbak ini. Dulu, ia mengagumi Aa’,” aku melihat foto yang ditunjuk Hani. Seorang gadis cubby berkerudung hijau muda.
“Ia kan hanya mengagumi Aa’, barangkali sekarang ia telah menikah, Dek, dan lebih penting aku tak memiliki rasa apa pun padanya dulu dan sekarang,” ujarku.
“Kenapa dari dulu Aa’ selalu lihat fisik? Fisik bukan jaminan. Teh Susi itu sempurna. Tetapi, kenapa Aa’ dan Teh Susi akhirnya cerai,” suara Hani meninggi.
Aku tak tahu apa yang telah ditanamkan wanita dalam foto itu sehingga bisa meyakinkan Hani bahwa fisik bukan jaminan kebahagiaan hidup.
Tuhan, hanya satu perempuan yang kucintai, Susi. Kunikahi Susi dengan harapan panjang ia akan menemaniku selamanya. Sayang, umur pernikahan kami hanya seumur jagung. Semua menyayangkan perpisahan kami, tetapi bagaimana lagi. Dan saat ini, aku belum ingin menikah lagi. Aku justru ingin mengembangkan usaha dan kuliah lagi.
Hani segera mengajakku pulang, ia kecewa sepertinya. Saat di parkiran, aku takjub bukan kepalang. Seorang gadis manis berkerudung biru, wajahnya sumringah, postur tubuhnya porposional, dan senyumnya manis sekali. “Hani,” ia menyapa Hani.
“Siapa ya,” Hani bingung.
“Mbak Nini, yang kuliah di Jogja, ingat enggak,” ucapnya.
“Mbak Ni..ni...kok aku masih belum ingat,” Hani jujur sekali pikirku.
“Aku temannya Masmu, dia pa kabar, dah punya anak berapa?”
“Aa’ Shofa. Ini orangnya,” jawab Hani.
Sekarang dia yang gantian memandangiku heran. “Dulu kan rambutnya gondrong, manis, dan pendiam,” ia menyebutkan deskripsiku empat tahun lalu.
“Iya, iya itu aku dulu sekarang berubah dong, eh, siapa ya, aku ndak punya teman di Jogja?” ujarku.
“Kang Shofa lupa denganku, enggak apa-apa sih, kita hanya sekali di rumahmu dan kita dulu enggak ngobrol,” jawabnya.
“Mbak, ayo main ke rumah,” ajak Hani.
“Mbak baru saja nyampe, pengen lihat pantai dulu,” jawabnya.
“Hani temani ya Mbak, Aa’ Shofa di sini saja,” Hani menarik tangannya ke pantai.
Perempuan memang punya cara tersendiri ketika lama tak bertemu. Hani dan gadis berkerudung biru itu berlari-larian, bergantian memotret. Ada pria yang sangat proposional tubuhnya mengambil gambar mereka. Dan ketika senja benar-benar tenggelam, Hani dan Nini muncul di hadapanku bersama pria yang memotret mereka. Namanya Asep. Kakak kelas Nini sewaktu SMP. “Calonnya ya, Mbak Nini,” Hani menggodanya.
Nini menggeleng.
“Syukurlah,” aku heran kenapa aku bersyukur mendengar pengakuan Nini kalau Asep bukan calon suaminya.
***

Shofa telah menjadi duda. Aku tahu itu dari Hani. Dia menanyaiku apakah aku masih mengagumi Shofa hingga saat ini? Mengagumi Shofa? Shofa dalam keliden memoriku itu Shofa empat tahun lalu. Sekarang? Aku masih ingin menguji perasaanku. Jika benar aku tidak sekadar mengagumi, aku semestinya bisa menerima kelebihan dan kekurangan Shofa. Dulu Shofa teramat terawat, kini mukanya penuh jerawat dan aku mestinya aku membantunya agar ia kembali mempesona. Hingga dia tetap akan mengagumkan dan aku mengaguminya. Yah, realitas di hadapanku kini mengajarkan kenyataan lain. Mengajarkan agar aku tak melihat kualitas seseorang dari fisiknya semata.
Aku melirik Asep, kenapa ia tiba-tiba hadir di hadapanku? Aku tak mau gegabah menafsirkan kehadirannya yang tiba-tiba. Toh ia hanya ingin berbagi tentang kuliah. Ia berniat sekolah lagi. Dan, selain aku suka pria yang manis, aku juga menyukai pria yang giat belajar. Asep, kakak kelas yang kuajari saat mengerjakan ujian semester PPKn dulu. Semua esainya kukerjakan. “Mas, playboy sih boleh, tapi otaknya juga enggak boleh kosong,” ejekku saat itu. Dan kini ia buktikan kalau otaknya tak lagi kosong.
Kami beriringan pulang. Dan, esok sore ia akan main ke rumah. Dia mengancamku agar tak kemana-mana. “Awas kalau besok kabur!” ia kepalkan tinjunya ke arahku. Ya, aku kembali mengingat bagaimana aku dulu sering mengejeknya dengan otak pongpong yang menyelesaikan masalah dengan ancaman bin kekerasan. Lainnya adalah pengakuannya di bus kota. “Sebenarnya aku ndak mencari cewek cantik, tetapi mencari cewek yang otaknya penuh, agar anakku kelak enggak kosong-kosong amat,”
“Aku tahu siapa yang Mas Asep maksud,” aku teriak histeris.
“Mbak Ayi,”
Mbak Ayi telah meninggal. Lalu? Siapa kandidat lainnya untuk Mas Asep? Aku? Duh, aku enggak mau mengambil hipotesis tergesa-gesa.
Masa lalu, darimu bermunculkan kenangan yang tiba-tiba mampu mengembangkan senyumku. Aku terus tersenyum hingga sampai di rumah.

Gaten, 29 Desember 2009
Tahun Baru 1430 H